Oleh: Yuli Nurmalasari (2008)
Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya keluarga merupakan wadah pertama dan utama yang fundamental bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.
Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluarga yang mengenalkan anak akan norma agama, etika sopan santun, norma bermasyarakat, dan norma-norma tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Selain itu, keluarga merupakan lingkungan pertama untuk bersosialisasi, mengenal diri sendiri, serta sebagai motivator eksternal terbesar yang akan selalu dibutuhkan oleh anak dalam menjalani kehidupan. Mengingat betapa pentingnya peran keluarga untuk anak, maka atmosphere keluarga sangat menentukan kepribadian, perilaku, konsep diri, motivasi berprestasi, serta pandangan hidup anak tersebut. Maka, akan sangat fatal akibatnya apabila keluarga tidak lagi mampu berfungsi sebagaimana mestinya.
Membahas mengenai keberfungsian keluarga, hal ini pasti berkaitan dengan peran dari anggota keluarga itu sendiri terutama peran orang tua. Dewasa ini, banyak ditemui keluarga yang mengalami pergeseran peran. Pergeseran peran ini kemudian dapat mengakibatkan disfungsional keluarga yang kemudian sangat berpotensi melahirkan banyak permasalahan, salah satunya adalah fenomena anak yang broken home. Kata broken home sering dilabelkan pada anak yang menjadi korban perceraian anaknya. Sebenarnya anak yang broken home bukan hanya anak yang berasal dari orang tua yang bercerai, tetapi juga anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh atau tidak harmonis. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi anak yang broken home, antara lain percekcokan atau pertengkaran orang tua, perceraian, kesibukan orang tua, dan keadaan ekonomi.
Anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari keluarganya (orang tuanya). Cekcok atau pertengkaran antara ayah dan ibu seringkali membawa dampak buruk pada anak. Anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dan pendidikan harus mengalami masa yang kritis untuk menjadi terbiasa dengan pertengkaran ayah dan ibunya. Pada usia balita, anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tuanya seringkali pemurung, labil dan tidak percaya diri. Ketika menjelang usia remaja kadang-kadang mereka mengambil jalan pintas, minggat dari rumah dan menjadi anak jalanan bahkan melakukan hal-hal yang menyimpang. Ketenangan yang ia rindukan berubah menjadi suram. Lebih jauh lagi, keluarga tidak lagi menjadi sebuah tempat yang dirindukan melainkan menjad tempat yang yang tidak diinginkan bahkan tempat yang wajib untuk dihindari.
Pertengkaran orang tua mungkin berujung pada perceraian. Sangat miris, dewasa ini banyak sekali rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut data, 20 tahun lalu, angka perceraian di Indonesia hanya 7,5%. Kemudian 15 tahun lalu meningkat menjadi 12,5% dan 5 tahun belakangan ini perceraian sudah mencapai 22% dari jumlah perkawinan yang ada (Dr. Ismah Salman dalam Asri: 210). Perceraian memberikan konsekuensi yang tidak ringan. Selain menjadikan seorang istri menjadi janda dan suami menjadi duda, lebih jauh lagi hal tersebut berpengaruh sekali terhadap kondisi psikologis anak. Belum lagi ketika anak diharuskan mengambil keputusan harus memilih tinggal bersama siapa: ayah atau ibu? Hal tersebut bukanlah hal yang sepele bagi seorang anak. Anak akan mengalami kebingungan, kelabilan secara emosional dan memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang tua atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri.
Hal lain yang dapat dikategorikan sebagai latar belakang broken home adalah orang tua yang sibuk, yang mana hal ini juga berkaitan erat dengan faktor ekonomi sebuah keluarga. Terdapat banyak orang tua yang tidak punya banyak waktu lagi untuk memperhatikan, berdialog, sharing, atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya sudah harus pergi ke sekolah. Dan ironisnya, bukan hanya ayah yang memiliki mobilitas tinggi karena tuntutan pekerjaan tetapi juga ibu menjadi ikut-ikutan memiliki hal yang sama dengan dalih ingin membantu perekonomian keluarga atau ingin mengejar karir. Dapat dibayangkan, bila dalam sehari ibu hanya punya waktu paling banyak 2 – 3 jam bertemu dengan anak. Anak lebih dekat dengan pengasuh atau pembantunya. Apalagi dalam hal informasi, anak-anak disuguhi dengan materi-materi televisi yang kurang atau bahkan tidak lagi memperhatikan aspek negatif pada anak-anak. Pada faktanya televisi tidak mampu menjadi orang tua yang baik, karena acara-acara yang ditayangkan tidak semuanya baik. Seorang ibu yang tidak memperhatikan apa yang terjadi pada diri anak, atau dalam hal ini tidak menjalin interaksi dengan anak, akan sulit mengontrol informasi-informasi yang masuk pada diri anak. Kurangnya interaksi orang tua dengan anak ini juga menyebabkan anak kehilangan peran orang tua. Hal lain yang merupakan akibat dari kurangnya interaksi orang tua dengan anak adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian terhadap hak-hak anak. Akhirnya kebutuhan anak dalam arti hak-hak mereka tidak terpenuhi. Dampak lain dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter; mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Anak kerap kali protes dan mengeluh, namun orang tua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orang tualah yang menuntut anak harus mengerti dan menerima keadaan orang tua atau keluarganya. Tidak dapat dipungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Akan tetapi, orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup.
Fenomena broken home ini memang tidak dapat dianggap sepele atau bukan untuk diabaikan dan dibiarkan berlalu begitu saja.
Broken home dapat mengakibatkan, antara lain:
1. Psychological disorder (Gangguan Psikologis).
Tidak dapat dipungkiri bahwa anak broken home akan mengalami gangguan secara psikologis. Meskipun kebutuhan fisiologi terpenuhi dengan baik, anak tidak akan berkembang dengan baik ketikan kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi. Anak broken home memiliki kecenderungan agresif, introvert, menolak untuk berkomitmen, labil, tempramen, emosional, sensitif, apatis, dan lain-lain.
2. Academic problem (masalah akademik).
Faktor motivasi eksternal terbesar untuk anak adalah keluarga. Dan ketika keluarga mengalami disfungsional maka anak broken home akan cenderung menjadi pemalas dan memiliki motivasi berprestas yang rendah. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aji Baroto. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumentasi terhadap buku pribadi siswa dan penyebaran angket untuk mengungkap motivasi belajar siswa. Pengolahan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyeleksian data, penyekoran serta analisis dengan cara mengelompokkan data dan menggunakan teknik uji t perbedaan dua rata-rata yang menghasilkan kesimpulan bahwa :
a. Terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
b. Motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
c. Keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa.
3. Behavioral problem (perilaku menyimpang).
Anak broken home adalah anak yang memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negatif. Begitu di luar (rumah), anak semacam over kompensasi, mencari pengakuan dan penghargaan diri dari lingkungan sekitarnya, sehingga anak broken home memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku menyimpang seperti bullying, memberontak, bersikap apatis terhadap lingkungan, bersikap destruktif terhadap diri dan lingkungannya, misalnya dengan mulai merokok, minum minuman keras, judi, free sex (seks bebas). Mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut tanpa pernah tahu apa yang baik dan yang buruk. Persis seperti seorang anak yang menangis dan butuh pelukan ibunya, tapi dia tidak mendapatkannya, oleh karena itu anak broken home akan berterimakasih kepada siapapun yang mau memeluknya, dan kadang wujud si ibu itu adalah ‘narkoba’ dan ’seks bebas’.
Untuk menyikapi fenomena broken home, terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh, diantaranya:
1. Orang tua melakukan tindakan preventif, yaitu dengan:
a. Menanamkan rasa disiplin
b. Memberikan kasih sayang dari kedua orang tua serta pengawasan dan perlindungan terhadap anak
c. Menjaga keintiman keluarga.
d. Memberikan pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
e. Secara rutin melakukan rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
f. Melakukan pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
2. Orang tua melakukan tindakan represif, yaitu dengan:
a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.
c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau konselor) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
Anak adalah aset yang berharga, generasi penerus bangsa yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Dan semua itu bergantung pada keluarga. Sudah selayaknya orang tua menyadari bahwa mereka memiliki kebutuhan yang tidak sebatas pada kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian orang tua. Meskipun ada beberapa anak broken home yang mempu bertahan dan tidak melakukan penyimpangan, namun orang tua hendaknya mampu mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak anak ketika akan melakukan sesuatu. Broken home adalah permasalahan yang bersumber dari keluarga, oleh karena itu solusi terbaik untuk anak-anak tersebut bukanlah psikolog, guru dan ulama, melainkan orang tua yaitu ayah dan ibunya di rumah yang dapat berperan dan berfungsi selayaknya orang tua.
REFERENSI
______. Broken home. Tersedia di : http://atriel.wordpress.com/2008/04/08/broken-home/
Asri. 2007. Cewek buka-bukaan. Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa.
Baroto, Aji. ________. Pengaruh Keluarga terhadap Kenakalan Remaja. Tersedia di: http://bbawor.blogspot.com
N. Nafisah. ______. Lingkungan Merampas Hak Anak. Tersedia di: http://www.angelfire.lycos.com
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Syamsudin, Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosdakarya.
Wildaniah, Firsty. ________. Mengenali Karakter Anak ”Broken Home”. Tersedia di: http://www.smpn28-bdg.sch.id/modules.php?name=News&file=article&sid=8
Wilis Dahar, Ratna. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Yusuf, Syamsu. 2007. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Rosdakarya.